Inilah Fakta Sebenarnya Tentang Prabowo Subianto Yang Tidak Terungkap
Media - Jika kita bicara tentang sosok Prabowo Subianto, mungkin bagi
yang tahu pasti akan di kaitkan dengan tragedi kerusuhan Mei 1998
dimana Prabowo Subianto menjadi salah satu aktornya. Itu yang di
gemborkan media yang mungkin Anda tahu. Tapi tahukah Anda bahwa
sebenarnya faktanya tidak seperti itu, sebenarnya Prabowo Subianto lah
yang di jadikan kambing hitam dalam tragedi Mei 1998. Anda penasaran ?,
mari kita simak ulasannya tentang fakta tentang Prabowo Subianto yang
sebenarnya seperti yang ditayangkan oleh Kompas TV. Artikel ini cukup
panjang sekali, jadi harap dibaca dengan sabar dan seksama ya.
Fakta Prabowo Subianto
Jum’at 14 Maret 2014, Kompas TV menayangkan Prabowo Subianto dalam
acara Aiman Dan…. Prabowo adalah salah satu nama yang maju dalam
pemilihan presiden Republik Indonesia. Karena posisi presiden di RI,
sesungguhnya lebih berkuasa daripada presiden Amerika Serikat maupun
Rusia, presiden RI haruslah yang terbaik dari yang ikut bertarung.
Tulisan ini bukan sebagai kampanye, karena saya bukan kader Partai
Gerindra, namun hanya untuk mengulas mengenai sosok Prabowo Subianto
yang kontroversial dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Tujuannya
adalah agar masyarakat mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang
tentang calon pemimpin yang akan dipilihnya termasuk Prabowo.
Mengingat begitu krontroversial dan banyaknya disinformasi mengenai
tokoh yang satu ini.
Prabowo lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau adalah mantan Danjen
Kopasus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Kuhusus), pengusaha sukses,
politisi, dan calon presiden 2014. Prabowo adalah putra dari begawan
ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari
Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan juga
merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya
tampak bahwa Prabowo memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia.
Bahkan jauh sebelum republik ini lahir.
Prabowo menikahi Titiek, putri Presiden Soeharto. Saat ini, Titiek
sendiri menjadi calon anggota legislatif dari Partai Golongan Karya
(Golkar). Keputusan yang tampak prospektif saat itu namun menjadi
blunder dalam hidupnya dikemudian hari. Dengan latar belakang keluarga
intelektual, Prabowo mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat
cerdas di sekolah maupun di AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia). Meski beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun
tidak banyak yang tahu bahwa setelah lulus SMA, Prabowo juga diterima
di American School In London, Britania Raya.
Karirnya dibidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan.
Karir militer Prabowo termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Prabowo bahkan sempat disebut
sebagai “The Brightest Star”. Dialah jenderal termuda yang meraih 3
bintang pada usia 46 tahun.
Sebagai sesama orang militer, Prabowo bisa dianggap sebagai “antitesa” dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat Prabowo akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Sebagai sesama orang militer, Prabowo bisa dianggap sebagai “antitesa” dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan Prabowo cenderung cepat, take action. Saat keputusan sudah dibuat Prabowo akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang
telah mencoreng nama baik dan menjadi penyebab kehancuran karir
militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini
tidak pernah mngungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak
juga kepada Prabowo yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya
Wiranto sengaja mengambil manfaat agar prasangka publik menghukum
Prabowo lebih berat daripada “dosanya”. Meski Prabowo berikeras
mengatakan tak pernah perintahkan. Namun beliau mengambil alih tanggung
jawab anak buahnya. “Saya ambil alih tanggung jawabnya.” Begitu kata
beliau saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir
militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan kualitas
kepemimpinan Prabowo. Jika Prabowo benar bersalah, mengapa justru
korban-korban penculikan seperti Pius L Lanang dan Desmond J Mahesa
justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan Prabowo justru sudah teruji di
saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka
yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan,
selalu terkesan ragu-ragu tampaknya Prabowo adalah jawabannya. Bagi
mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri
saat ada masalah maka Prabowo adalah pilihan yang patut
dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, Prabowo
memilih untuk ambil alih tanggung jawab dan menanggung sendiri
resikonya. Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama
selamatkan diri saat kapal tenggelam, tetapi justru yang terakhir.
Seperti terlihat dalam film Titanic, ketika kapal sudah mulai tenggelam,
kapten kapal memastikan semua penumpang selamat, dan akhirnya dirinya
sendiri gagal selamat. Sayang, karir militer Prabowo yang gilang
gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa
dikatakan memilukan.
Prabowo bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan
kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun
1998. Berbicara tentang Prabowo kita tidak bisa lepas dari peristiwa
kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya. Sebagai
pihak yang kalah Prabowo menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian
tersebut. Seperti kata pepatah, tinta sejarah adalah milik pemenang.
Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma
sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata
lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan Prabowo. Jika memang benar
Prabowo adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu maka
dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan Prabowo
yang karir gemilangnya di dunia militer yang begitu dicintainya itu
harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib. Lalu bagaimana jika
semua itu tidak benar? Layakkah Prabowo tersandera oleh prasangka tanpa
bukti? Lantas layak pulakah bangsa Indonesia kehilangan kesempatan
untuk dipimpin oleh putra terbaiknya?
Jauh sebelum peristiwa Mei 98 proses penghancuran nama baik Prabowo
sudah terjadi. Semua berawal dari rivalitas antara Prabowo dan Wiranto.
Ketidak harmonisan Prabowo dan Wiranto memang sudah berlangsung sejak
lama. Mungkin karena latar belakang keduanya yang jauh berbeda. Prabowo
yang kosmopolitan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka.
Sementara Wiranto dengan latar belakang Jawa yang sangat kental lebih
tertutup. Namun Prabowo yang terbiasa dengan persaingan terbuka sejak
kanak-kanak menganggap rivalitas semacam itu sebagai hal biasa dan
tidak dijadikan personal. Berbeda dengan Wiranto yang berlatar belakang
sangat “Jawa Tradisional” itu, dia lebih mirip dengan Soeharto dalam
menyikapi suatu rivalitas. Lihat saja nasib yang menimpa
pesaing-pesaing Soeharto yang mengganggu karir militer atau politiknya
di masa lalu. Jika tidak mati, membusuk di penjara. Salah satu contohnya
adalah kawan saja, Fadjroel Rachman, yang sempat mendekam di Nusa
Kambangan dan kehilangan teman-temannya. Fadjroel sendiri akhirnya bebas
ketika Habibie menjadi presiden.
Indikasi ketidaksukaan Wiranto terlihat dengan absennya beliau sebagai
Pangab (Panglima ABRI) dalam acara serah terima Pangkostrad Letjen
Soegiono kepada Prabowo. Begitu juga saat pemberhentian secara hormat
Prabowo sebagai perwira militer. Beliau mencopot tanda-tanda pangkat
Prabowo dengan satu tangan saja. Proses berakhir secara paksanya karir
militer Prabowo memang tidak bisa dilepaskan dari rivalitas perwira
muda dan perwira tua. Prabowo sebagai gambaran perwira muda tentu saja
menjadi sasaran tembak utama saat itu. Posisi Prabowo saat itu
benar-benar terjepit. Di satu sisi dia adalah menantu penguasa yang
sedang menjadi sasaran sentimen negatif rakyat. Di sisi lain akibat
manuver Wiranto dkk, Soeharto yang masih punya pengaruh justru
membencinya sampai ke ubun-ubun. Sampai-sampai kepada penggantinya
Habibie, beliau menyampaikan pesan khusus untuk “mengamankan” Prabowo.
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Semua tidak terlepas dari
peristiwa Mei yang mengerikan itu. Peristiwa yang hingga kini masih
menghantui republik ini.
Ada 3 tuduhan utama yang diarahkan kepada Prabowo, yaitu: Penculikan
akitivis, penembakan mahasiswa Trisakti, dan dalang kerusuhan Mei 1998.
Tidak satupun tuduhan tersebut yang terbukti. Seandainya Prabowo
bersalah bukankah Pangab saat itu Wiranto? Bukankah sebagai panglima
beliau yang seharusnya paling bertanggung jawab? Mengapa hingga saat
ini Prabowo tidak pernah diberitahu tentang hasil penyelidikan DKP
sehingga tidak bisa membela diri? Mengenai penembakan mahasiswa
Trisakti, Wiranto juga terkesan sengaja ‘buying time’ dengan tidak
mengusut kasus ini secara cepat. Akibatnya tuduhan kembali ke Prabowo,
yang jadi bulan-bulanan opini publik, dicurigai sebagai orang dibalik
penembakan itu. Meski banyak sekali keanehan terhadap tuduhan ini namun
fitnah sudah mencapai sasaran. Dan sekali lagi Prabowo terlanjur
menjadi pesakitannya. Tuduhan mengarahkan Prabowo di balik penembakan,
dengan konspirasi anggota kopasus memakai seragam Polri sebagai pelaku
penembakan snipper. Teori konspirasi ini tidak pernah terbukti, karena
peluru snipper diatas 7 mm dan proyektil peluru tertanam di korban
kaliber 5,56 mm. Sementara korban dipilih secara acak. Kalau snipper
akan memilih misalnya pemimpin demo atau target pilihan. Lima hari
setelah insiden Trisakti, Prabowo datang ke rumah Herry Hartanto. Di
bawah Alquran dia bersumpah. Di depan Syaharir Mulyo Utomo orang tua
korban, “Demi Allah saya tidak pernah memerintahkan pembantaian
mahasiswa.”
Perihal keterlibatan Prabowo atas penembakan mahasiswa Trisakti,
tanggal 14 Mei terjadi pertemuan di Makostrad (Markas Komanda Staf
Angkatan Darat) atas inisiatif Setiawan Djodi. Pertemuan antara Prabowo
dan tokoh masyarakat, antara lain: Adnan Buyung Nasution, Setiawan
Djodi, Fahmi Idris, Bambang Widjoyanto. Dalam pertemuan itu Prabowo
ditanya tentang keterlibatannya. Prabowo menjawab, “Demi Allah saya
tidak terlibat, saya di set-up.” Menurut Buyung terlihat jujur.
Peristiwa selanjutnya semakin memperkuat ketidak terlibatan Prabowo
atas peristiwa penembakan mahasiswa tersebut. Puspom ABRI Sjamsu Djalal
menghadapi kesulitan memaksa Kapolri Dibyo Widodo untuk menyerahkan
anggotanya yang dicurigai terlibat. Disinilah peran Wiranto terlihat.
17 hari setelah insiden itu berlalu baru Wiranto memanggil Dibyo untuk
memerintahkan untuk menyerahkan anggota. Itupun anggota diserahkan ke
Polda bukan ke POM ABRI. Padahal Polri saat itu masih menjadi bagian
ABRI dan Pangabnya adalah Wiranto. Sementara senjata sebagai barang
bukti baru diserahkan tanggal 19 Juni 98. Hampir satu bulan sejak
peristiwa terjadi. Kelak tahun 2000, uji balistik di Belfast, Irlandia
membuktikan bahwa peluru berasal dari anggota Polri unit gegana. Siapa
sesungguhnya dibalik pristiwa itu? Siapa yang beri perintah? Jelas
bukan Prabowo yang sebagai Pangkostrad tidak punya jalur komando ke
Polri. Dalam militer, garis komando benar-benar diterapkan. Bagaimana
dengan tuduhan Prabowo sebagai otak dibalik kerusuhan Mei 98? Benarkah
dia yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut? Atau kembali lagi
beliau dikorbankan akibat proses perebutan kekuasaan terselubung
diantara para elit militer saat itu? Apakah benar kerusuhan tersebut
terjadi karena spontanitas atau ‘crime by omission’ (kejahatan karena
pembiaran) atau bahkan ‘terror by design’ (teror yang didesain)?
Mari kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran SBY dalam proses pergantian kekuasaan saat itu. Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkahkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 98 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.
Mari kita kembali ke zaman yang tidak mengenakkan itu. Kadang untuk mencari kebenaran sejarah kita butuh “mesin waktu”. Tampaknya kita harus memanggil Doraemon ke sini sekarang. Kita juga membutuhkan testimoni para pelakunya yang saat ini masih hidup bahkan sedang berkuasa. Sedikit dari kita yang mengetahui apa peran SBY dalam proses pergantian kekuasaan saat itu. Padahal beliau juga cukup berperan. Sudah menjadi kepercayaan umum bahwa penembakan mahasiswa Trisakti mengakibatkan terjadinya kerusuhan besar-besaran. Benarkahkah demikian? Bukti-bukti menunjukkan bahwa kerusuhan Mei 98 itu bukanlah spontanitas kemarahan warga akibat peristiwa Trisakti. Adakah rekayasa pihak tertentu atau setidaknya pembiaran sehingga peristiwa itu bisa terjadi? Mari kita lihat secara jernih bukti-bukti yang ada.
Satu peristiwa yang bisa dijadikan kunci keterlibatan Wiranto pada
peristiwa tersebut adalah kepergiannya ke Malang saat ibukota sedang
genting-gentingnya. Sebab Wiranto sudah tahu akan ada kerusuhan di
ibukota, tetapi tetap bersikukuh untuk pergi ke Malang. Acara di Malang
adalah serah terima PPRC dari Divisi I ke Divisi II. Wiranto menjadi
Inspektur upacara (irup) nya. Sebenarnya itu adalah acara rutin yang
bisa diwakilkan. Bayangkan, untuk serah terima Pangkostrad saja dia bisa
berhalangan hadir. Bagaimana mungkin dalam kondisi ibukota yang
genting dia sebagai pemegang kunci komando lebih memilih jadi irup
acara seremonial seperti itu? Sangat tidak bisa diterima akal sehat.
Apalagi mengingat tanggal 13 Mei malam Wiranto memimpin rapat Garnisun
Jakarta untuk menanyakan situasi terakhir. Lebih mencurigakan lagi
bahwa Kasum TNI Fahariur Razi saat itu sudah ditunjuk Pangkostrad
Prabowo menjadi irup di Malang. Tetapi sekonyong-konyong diambil alih
oleh Wiranto. Suatu kebetulan atau kesengajaan? Mungkinkah Wiranto
sebagai Pangab tidak tahu menahu kondisi Jakarta? Dalam kondisi ibukota
terjadi kerusuhan Wiranto malah pergi ke Malang dengan mengajak
komandan-komandan seperti Danjen kopasus, komandan Marinir, dll. Lebih
mencurigakan lagi sebenarnya Prabowo sudah brulang kali menghubungi
Wiranto untuk membatalkan kepergiannya. Wiranto menjawab “Show must
goon”. Ini mirip dengan Soeharto tahu akan gerakan 30 September namun
sengaja tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegahnya.
Sebelumnya, saat situasi makin mengarah rusuh 12 Mei 1998 Panglima TNI Wiranto tidak memerintahkan pasukan untuk berada di Jakarta. Atas permintaan Pangdam Jaya yang mendapat perintah dari Mabes ABRI, Pangkostrad Prabowo kemudian membantu pengamanan ibukota. Pangkostrad Prabowo kemudian membantu Pangdam Jaya dengan mendatangkan pasukan dari Karawang, Cilodong, Makasar, dan
Malang untuk membantu Kodam. Tetapi sekali lagi Wiranto tidak mau memberi bantuan pesawat Hercules sehingga Prabowo mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Seharusnya jika negara dalam keadaan genting seperti itu panglima wajib mengambil alih komando dan secara fisik wajib berada di lokasi. Tetapi yang terjadi justru tidak terlihat sedikitpun i’tikad baik Wiranto untuk mencegah terjadinya kekacauan yang menelan korban hingga ribuan orang tersebut. Anehnya justru belakangan kubu Wiranto yang melemparkan kesalahan kepada Prabowo yang dianggap mengakibatkan kerusuhan itu. Bukankah Wiranto sudah menggelar rapat Garnisun tanggal 13 Mei untuk menanyakan situasi terakhir? Apakah Zaki Anwar Makarim sebagai ketua Badan Intelijen ABRI tidak pernah mengingatkan Wiranto akan ada kerusuhan? Bukankah Prabowo sendiri sudah mengingatkan Wiranto akan terjadi kerusuhan dan mencegahnya pergi ke Malang? Mengapa Wiranto tidak bergeming? Lantas apa sebenarnya tujuan Wiranto membentuk Pam Swakarsa? Pam Swakarsa ini rencananya akan dipakai sebagai perlawanan kalangan sipil terhadap demo yang semakin menjadi-jadi saat itu. Untuk Pam Swakarsa sendiri, memiliki produk “unggulan” yaitu Front Pembela Islam (FPI) yang kemudian direspon oleh hadirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun belakangan dicurigai bahwa justru Pam Swakarsa inilah salah satu penyulut kerusuhan Mei tersebut. Jauh sebelum peristiwa Mei terjadi, mantan Kakostrad Kivlan Zein bersaksi bahwa dialah yang diperintahkan Wiranto untuk membentuk Pam Swaraksa. Mengapa Wiranto menolak permohonan bantuan Hercules Prabowo sehingga dia harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala? Mengapa saat Prabowo mengerahkan pasukan untuk berusaha menghentikan penjarahan “sistematis” toko-toko, justru Panglima TNI melalui Kasum Fahariur Razi malah melarang pengerahan pasukan untuk membantu Kodam Jaya? Mengapa panser-panser dan pasukan yang sudah siap saat itu tidak bisa bergerak karena menunggu perintah yang tidak kunjung datang? Keragu-raguankah atau kesengajaan? Yang jelas akibatnya ribuan nyawa melayang sia-sia, ratusan wanita diperkosa, aset-aset pribadi dibumi hanguskan.
Bukti lain semakin mengarah kepada Wiranto sebagai dalang sesungguhnya
dari kerusuhan Mei 98 dari pengakuan mantan Ka Puspom ABRI Sjamsu
Djalal. Melihat kondisi ibukota yang semakin tidak terkendali, beliau
menyarankan untuk memberlakukan jam malam. Namun Wiranto tidak
bergeming. Artinya ada lebih dari satu orang yang memberi peringatan
kepada Wiranto saat itu. Jadi keputusannya berangkat ke Malang adalah
bagian dari “rencana”. Makin terkuak disini bahwa Prabowo yang justru
berupaya mengamankan situasi malah dijadikan kambing hitam sebagai
pelaku kudeta.
Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah kerusuhan Mei itu murni
spontanitas warga atau karena rekayasa dalam kaitan perebutan kekuasaan
saat itu? Mengenai pembentukan Pam Swakarsa, Kivlan Zein sudah memberi
testimoni bahwa itu adalah bentukan Wiranto. Dia yang ditugasi
perintah pembentukan Pam Swakarsa diberikan oleh Wiranto. Dia panggil
Kivlan Zein untuk meminta dana dari Setiawan Djodi. Pertemuan ini
diatur oleh Jimmly Asshidiqie. Dalam pertemuan tersebut Wiranto
mengatakan ini perintah Habibie. Jimmly akrab dengan Habibie dalam ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Kerusuhan yang terjadi karena
spontanitas biasanya meluas dengan menjalar. Tidak serempak dimulai di
seluruh penjuru kota dalam waktu yang bersamaan. Satu-satunya jawaban
yang bisa diterima akal sehat adalah bahwa kerusuhan itu terjadi “by
design”, dimulai berdasarkan komando pihak-pihak tertentu. Mengapa pada
pagi hari tanggal 14 Mei ada pasukan dari Solo diterbangkan ke Jakarta
dan mendarat di Halim? Disaat yang sama kerusuhan terjadi bersamaan
antara Jakarta dan Solo. Semua terjadi pada pagi hari di waktu yang
persis bersamaan. Tidak ada jeda. Seolah-olah mengisyaratkan bahwa
kerusuhan di kedua kota ini sudah direncanakan matang sebelumnya dan
dibawah komando yang sama. Disaat massa mulai menjarah di Jakarta disaat
yang sama kejadian serupa terjadi di Solo. Modusnya sama persis. Jika
kerusuhan itu spontanitas, mengapa dimulai secara serempak di berbagai
penjuru Jakarta sekaligus Solo?
Di salah satu pertokoan, ada kesaksian seorang ibu yang mencari anaknya
yang ikut masuk ke Jogja Plaza karena disuruh seseorang. Tetapi
dilantai 2 ditampar dan disuruh keluar dan akhirnya keluar sebelum
pintu ditutup dari luar. Kita tahu akhirnya Jogja Plaza dibakar.
Mungkinkah mahasiswa atau penduduk urban sengaja memasukkan massa ke
dalam gedung lalu membakarnya dari luar? Atau ada pihak tertentu yang
sengaja memobilisasi massa supaya terjadi kondisi kekacauan yang
memungkinkan pihak-pihak tertentu ambil peranan? Sebagaimana yang kita
ketahui selanjutnya, kondisi kacau itu sendiri akhirnya mempercepat
proses jatuhnya Soeharto dari tampuk kekuasaan. Lalu siapakah yang
diuntungkan dari jatuhnya Soeharto? Adakah Wiranto dkk atau Prabowo?
Yang jelas sesaat setelah lengsernya Soeharto, Wiranto sebagai Pangab
dengan mudahnya menghancurkan karir militer Prabowo.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada aktivis mahasiswa 98, disini
disampaikan bahwa sesungguhanya kejatuhan Soeharto bukan karena demo.
Tetapi lebih karena pengkhianatan para elit, baik sipil maupun militer
yang mana mereka sesungguhnya bagian dari kroni Soeharto sendiri.
Peristiwa jatuhanya Soeharto dari kekuasaanya itu sendiri lebih tepat
dikatakan hasil dari sebuah kudeta halus (soft coup) yang memanfaatkan
demonstrasi mahasiswa yang merebak dimana-mana sebagai “pemicu”nya.
Rupanya dalam suasana genting jatuhanya kekuasaan Soeharto itu diwarnai
pula oleh rivalitas yang muncul ke permukaan diantara para perwira
ABRI. Akibat lemahanya kepemimpinan Wiranto sebagai Pangab ditambah
suasana yang tidak menentu. Masing-masing perwira berusaha mencari
manfaat atas situasi tersebut. Para perwira berusaha “berinvestasi”
pada masa depan masing-masing, setidaknya mengamankan posisi mereka
masing-masing. Pada saat itu terlihat jelas di tubuh ABRI sendiri tidak
solid dibawah satu komando. Masing-masing punya agenda sendiri-sendiri
dan saling curiga satu sama lain.
Salah satu contohnya adalah adanya siaran pers dari puspen (pusat
penerangan) ABRI menjelang berakhirnya kekuasaan Soeharto. Siaran pers
yang walau dibantah langsung oleh Wiranto namun turut mempercepat
proses lengsernya Soeharto. Salah satu isi dari rilis tersebut adalah
dukungan terhadap sikap PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) yang
mendukung Presiden Soeharto lengser. Sebenarnya itu bukan merupakan
rilis resmi ABRI karena tidak memakai kop surat dan tidak ditanda
tangani. Menurut Makodongan, siaran pers dukungan terhadap sikap PBNU
itu dibuat oleh Mardianto dan Kasospol saat itu, SBY. Meski tengah
malam itu juga Wiranto membangunkan seluruh perwira untuk menarik rilis
itu dari seluruh media massa agar tidak diterbitkan. Namun sudah
terlanjur beredar dan Soeharto yang tahu tentang ini semakin kehilangan
perspektif terhadap kondisi lapangan, terutama mengenai dukungan ABRI.
Kejadian ini semakin memperburuk hubungan Prabowo dan Wiranto karena
dia menganggap Prabowo-lah yang mengadukan ini ke Presiden.
Tanggal 18 Mei Harmoko yang selalu menjilat Soeharto akhirnya menjadi
“Brutus” dengan meminta beliau secara arif dan bijaksana untuk mundur.
Sikap Harmoko ini cukup mengejutkan mengingat keberadaannya sebagai
Ketua DPR/MPR adalah semata-mata untuk mengamankan kekuasaan Soeharto.
Sebelumnya dia selalu langganan dipilih sebagai menteri oleh Soeharto.
Bisa dikatakan dia memperoleh segala-galanya karena Soeharto. Namun
karena desakan mahasiswa dan tokoh masyarakat akhirnya dia memilih untuk
menyelamatkan diri sendiri. Namun begitu pernyataan pemimpin DPR/MPR
itu, disambut gegap gempita oleh mahasiswa yang menduduki gedung DPR dan
masyarakat seluruh Indonesia. Tetapi kegembiraan itu tidak berlangsung
lama karena sekitar pukul 23:00 WIB Wiranto menyampaikan bahwa ABRI
menolak pernyataan Harmoko itu.
Melihat situasi yang semakin tidak menguntungkan kekuasaannya
sebenarnya Soeharto sudah berniat mundur dari jabatannya. Namun dia
ingin memastikan pasca mundurnya dia sebagai presiden tidak ada
kekacauan yang membuka peluang bagi militer untuk berkuasa. Tanggal 19
Mei dibuatlah pertemuan dengan beberapa tokoh masyarakat, seperti Gus
Dur, Nurcholis Madjid, Emha Ainun Nadjib, dll, minus Amien Rais. Dalam
pertemuan tersebut Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi
yang akan menyiapkan pemilu. Sementara itu menjelang rencana Amien
Rais yang akan mengumpulkan massa di Monas tanggal 19 Mei, Wiranto
mengadakan rapat di Mabes. Dalam rapat yang dihadiri para perwira
tinggi militer itu kembali muncul perbedaan antara Prabowo dan Wiranto.
Dalam rapat itu Wiranto mengatakan bahwa perintah yang dibuat adalah
mencegah masuknya pendemo dengan segala cara (at all cost). Prabowo
bertanya berulang-ulang apa maksud perintah itu? Apakah akan digunakan
peluru tajam? Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan jelas oleh
Wiranto. Kivlan Zein menggelar tank dan panser dengan perintah, “Lindas
saja mereka yang memaksa masuk Monas!” Kivlan Zein meminta Prabowo
agar Amien Rais membatalkan rencana demo sejuta umat di Monas. “Dari
pada saya dimusuhi umat Islam lebih baik saya tangkap Amien Rais” kata
Kivlan. Akhirnya Amien Rais membatalkan rencana demo di Monas.
Saat menghadapi Habibie, Prabowo berkata, “Pak, bapak sepuh mungkin akan lengser siapkah anda menggantikannya?” Bapak sepuh adalah sapaan Prabowo kepada Soeharto yang saat itu menjadi mertuanya. Selanjutnya Prabowo meminta Habibie untuk mempersiapkan diri. Disini terlihat bahwa Prabowo merasa tidak punya masalah dengan Habibie. Jika kita membaca ulang berita-berita media jauh sebelumnya, juga tampak jelas hubungan kedua tokoh ini sangat akrab. Berulang kali Prabowo menyampaikan kekagumannya pada Habibie, begitu juga sebaliknya. Prabowo yang berhasil meredakan situasi merasa akan mendapat pujian. Maka datanglah dia ke Cendana. Tapi celaka, disitu sudah ada kelompok Wiranto yang duduk bersama-sama dengan Soeharto dan putra-putrinya. Rupanya disitu Wiranto “mengadukan” tentang manuver Prabowo yang mengindikasikan dia runtang-runtung dengan Habibie dan para aktivis. Saat dia tiba, Mamiek langsung menghardik Prabowo dengan kasar sambil mengacungkan telunjuk hanya satu inci dari hidung Prabowo. Sambil berkata, “Kamu pengkhianat! Jangan injakkan kakimu di rumah saya lagi!” Prabowo keluar menunggu sambil bilang, “Saya butuh penjelasan”. Titiek –istri Prabowo- hanya bisa menangis, lalu dia pulang. Saat itu sesungguhnya Prabowo sudah dikalahkan, kalah oleh lobi dan pendekatan Wiranto yang meyakinkan. Dalam kondisi gamang seperti itu memang Soeharto sangat rentan menerima informasi yang dipelintir. Hal yang sama akan terulang kembali pada Habibie. Kali ini Wiranto sendiri mengakui ada informasi yang salah ditangkap Habibie dari dirinya.
Sementara itu Habibie yang merasa terancam dengan rencana pembentukan
Kabinet Reformasi mengeluarkan kartu As-nya. Dia dan 14 menteri ekuin
di bawah Ginandjar Kartasasmita menyampaikan keberatannya untuk menjadi
bagian dari Kabinet Reformasi. Soeharto merasa benar-benar terpukul
atas kejadian terakhir ini karena merasa ditinggalkan. Apalagi diantara
mereka ada yang dianggap sebagai orang-orang yang dia “selamatkan”.
Malam itu Soeharto terlihat gugup dan bimbang. Suatu kejadian langka.
Namun disaat-saat penuh kekecewaan itu hadir sahabat-sahabat sejati yang
menunjukkan kesetiaannya. Malam itu hadir di Cendana para mantan
wapres menyampaikan dukungannya; Umar Wirahadikusuma, Sudharmono, Try
Sutrisno. Sekitar pukul 23:00 WIB Soeharto memanggil Yusril Ihza
Mahendra, Saadilah Mursayaid, dan Wiranto. Beliau menyampaikan bahwa
besok akan menyerahkan kekuasaan kepada Habibie. Esok paginya, Harmoko,
Syarwan Hamid, Abdul Gafur, Fatimah Ahmad, dan Ismail Hasan Metareum
menemui Soeharto di ruang Jepara.
“Ada dokumen lain lagi?” Tanya Soharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” Tutur Soeharto.
Di Credential Room Soeharto bertemu Habibie tetapi Soeharto melengos. Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Habibie dan kembali ke ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi kedudukan hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.
“Ada dokumen lain lagi?” Tanya Soharto.
“Tidak Pak.” jawab Harmoko.
“Baik kalian tunggu saja disini, saya akan melaksanakan pasal 8 UUD 45.” Tutur Soeharto.
Di Credential Room Soeharto bertemu Habibie tetapi Soeharto melengos. Soeharto sangat sakit hati dengan murid kesayangannya ini. Selesai menyampaikan pidato pengunduran dirinya, dia menyalami Habibie dan kembali ke ruang Jepara. Kepada para pimpinan DPR/MPR itu dia berkata, “Saya sudah bukan presiden lagi”. Mbak Tutut sembab matanya karena menangis. Harmoko melongo. Pagi itu adalah pertemuan terakhir Soeharto dan Habibie. Bahkan saat kritis menjelang ajalnyapun Habibie dilarang menemui Soeharto.
Hubungan Soeharto dan Habibie adalah hubungan panjang dua manusia yang berhasil menjadi pemimpin negeri ini. Soeharto sudah mengenal Habibie sejak Habibie masih anak-anak. Bahkan saat ayah Habibie meninggal Soeharto-lah yang menyolatkannya. Soeharto-lah yang menutupkan mata ayah Habibie saat meninggal dunia. Bahkan dalam buku biografinya Soeharto tidak segan-segan menunjukkan kepercayaan dan rasa sayangnya terhadap Habibie. Soeharto pula yang mengirim utusan untuk menjemput Habibie di Jerman untuk kembali ke Indonesia. Kita belajar dari sini. Bagaimana demi kedudukan hubungan umat manusia yang begitu dalam mampu dikorbankan.
Sekitar pukul 23:00 WIB Prabowo dan Muhdi bertemu dengan Habibie di
kediamannya untuk memberi dukungan pada presiden baru. Namun
keesokannya pada tanggal 22 Mei, selesai Sholat Jumat Prabowo mendapat
kabar mengejutkan. Bagai petir di siang bolong, Prabowo di Makostrad
ditelepon Mabes AD, diminta menanggalkan benderanya. Perintah itu tak
lain artinya bahwa jabatannya dicopot. Prabowo mengingat perkataan
Habibie jauh sebelumnya, “Prabowo, kapan pun kamu ragu temui saya,
jugan pikirkan protokoler!” Maka Prabowo menemui Habibie yang sudah
menjadi presiden dan berkata, “Ini penghinaan bagi keluarga saya dan
keluarga mertua saya.” Habibie menjelaskan kalau dia mendapatkan
laporan dari Pangab bahwa ada gerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta,
Kuningan, dan istana. Prabowo minta setidaknya 3 bulan di Kostrad.
Habibie menolak. “Tidak, sampai matahari terbenam anda harus
menyerahkan semua pasukan!” Dari sini kembali terlihat, untuk kedua
kalinya Prabowo dikalahkan oleh lobi dan pendekatan Wiranto. Kelak,
Wiranto sendiri mengakui bahwa ada kemungkinan informasi yang diberikan
diterima secara salah oleh Habibie. Namun kesalahpahaman apapun itu,
Prabowo sudah terlanjur menjadi pihak yang dirugikan. Hancurlah karir
militer yang begitu gilang gemilang.
Kita tidak pernah tahu apakah baik Soeharto maupun Habibie sama-sama
salah mengartikan informasi yang disampaikan Wiranto, atau memang ada
kesengajaan melakukan miss-informasi terhadap Prabowo mengingat
persaingan internal ABRI saat itu. Demikian akhir tulisan singkat
mengenai Sang Jenderal Terbuang. Semoga menambah wawasan dan menjadi
pelajaran bagi kita semua.
Sumber
http://politik.kompasiana.com/2014/05/25/inikah-penyebab-prabowo-dan-titiek-soeharto-berpisah-659837.html
@
Tagged @ Calon Presiden
Tagged @ Gerindra
Tagged @ Partai Gerindra
Tagged @ Prabowo Subianto
0 komentar:
Posting Komentar - Kembali ke Konten