Foto ‘Selfie’ Gejala Asosial & Krisis Pede?

Tidak ada yang memastikan kapan persisnya trend foto selfie mulai booming. Yang jelas sejak saya masih SD, saya sudah melakukan selfie dengan kamera kodak yang masih menggunakan roll film yang saat menunggu hasil fotonya kita wajib harap-harap cemas karena siapa tau hasilnya terbakar. Terbakar maksudnya bukan terbakar karena api. Zaman itu klise atau afdruk foto yang tidak sukses menangkap dan merekam gambar disebut dengan istilah ‘terbakar’. Ya, kamera zaman dulu memang berbeda dengan zaman sekarang. Meskipun (demi Tuhan) saya sesungguhnya masih muda, saya termasuk generasi yang masih sempat merasa menjadin manusia paling trendy sejagad raya karena memiliki kamera saku. Kamera kodak yang tidak ada menu preview dan delete. Kita hanya bisa memotret jeprat-jepret sampai 36 kali sesuai kapasitas roll film, lalu dag-dig-dug membawa kameranya ke tukang foto sambil khusuk berdoa semoga hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Karena kita baru tau seperti apa hasilnya setelah film dicetak. Bagus atau jelek hasil fotonya, kita tetap harus bayar lembar demi lembar foto yang sudah dicetak dari klise.

Tidak seperti sekarang, dengan menggunakan kamera digital, sehabis jeprat-jepret, kita bisa langsung preview untuk melihat hasil fotonya apakah sesuai selera, kebutuhan dan panggilan jiwa. Jika puas, lanjut dengan pose berikutnya. Jika tidak puas, bisa di-delete lalu pose beberapa kali lagi, preview lagi, delete lagi, pose lagi, preview lagi. Begitu selanjutnya sampai akhirnya ejakulasi dan orgasme alias puas dengan hasilnya.

Berbicara mengenai foto selfie, seperti yang sudah saya singgung di atas, saya memang sudah melakukannya sejak dulu dan saat masih memakai kamera kodak. Saya bahkan masih menyimpan fotonya sampai sekarang. Tapi maaf, biarpun diiming-imingi harta, tahta dan wanita, saya tidak akan menunjukkannya kepada anda. Saya bahkan selalu ingin menangis tersedu-sedu setiap kali membayangkan bagaimana dulu tukang cetak foto langganan saya mencetak foto itu. Mudah-mudahan dia sudah lupa dengan semua itu sehingga kapan-kapan jika dia bertemu saya, dia tidak punya senjata untuk mem-bully saya.

Berbicara mengenai foto selfie, gaya ini mulai mencuri perhatian sejak munculnya trend handphone berkamera yang kemudian diikuti oleh maraknya Social Media seperti Facebook & Twitter. Saya berani bertaruh, di setiap handphone pasti terselip beberapa foto selfie pemiliknya. Praktisnya handphone berkamera ini membuat pemiliknya bisa berpose dan jeprat-jepret kapan dan dimana saja. Begitu juga profile picture untuk Facebook dan Twitter, foto-foto dengan latar pemandangan dan tampak kaki menginjak bumi, kini sudah digantikan dengan foto yang hanya tampak pipi yang memenuhi frame. Ya, ciri-ciri umum foto selfie adalah pemilik wajah dalam foto berubah menjadi pendekar bertangan satu (karena tangan yang satu lagi dipakai untuk memegang handphone berkamera), jidat mengkilap akibat sambaran blitz (yang dipaksa menyala untuk memberi efek kulit cerah), lubang hidung menganga (akibat jarak kamera dengan wajah yang terlalu dekat) dan pipi yang tampak lebih besar dari ukuran sebenarnya. Dan jika si pemilik foto termasuk spesies alay, akan ditambah dengan bonus bibir yang monyong kanan kiri atas bawah sesuai arah mata angin alias muka bebek, untuk memberi kesan imut.

Sebagus-bagusnya sebuah foto selfie (meskipun sebenarnya jarang ada yang bagus), tetap saja tidak akan pernah bisa sebagus hasil foto yang dijepret dengan bantuan jasa orang lain. Foto selfie tidak akan pernah bisa natural dan jujur, karena anda akan kehilangan satu tangan anda. Kadang malah tangan yang digunakan untuk memegang kamera handphone tampak pada foto dan memberi efek gedebong pisang sehingga semakin merusak estetika foto.

Versi lain dari selfie adalah dengan menggunakan jasa cermin. Dengan menggunakan cermin, anda bisa mengatur jarak supaya hasil foto nantinya tidak fokus hanya ke pipi saja, tetapi juga ke seluruh anggota badan (jika memungkinkan). Tetapi foto selfie tidak akan pernah menghasilkan foto yang sempurna, karena pada hasil foto tetap saja akan kelihatan tangan anda terangkat sambil memegang handphone atau kamera yang anda gunakan untuk jeprat-jepret, sementara mata anda akan jarang sekali melihat ke arah kamera karena fokus dengan apa yang tampak pada layar handphone atau kamera anda. Bahkan tak jarang handphone dan kamera terpaksa harus menutupi sebagian wajah anda demi mendapatkan angle (sudut pandang) yang anda inginkan pada bayangan di cermin. Menurut anda hasil foto seperti itu terlihat bagus? Terserah anda sih.

Akhir-akhir ini foto selfie juga mendapat dukungan moral dari monopod atau yang di Indonesia dikenal dengan nama tongsis atau tongkat narsis. Dengan menggunakan tongsis, jarak kamera ke wajah bisa diperluas sehingga memberi ruang untuk wajah-wajah lain ikut nongol. Istilahnya, tongsis ini versi massal dari selfie karena bisa mengabadikan lebih dari satu wajah. Hasilnya? Tetap saja harus ada pendekar bertangan satu karena salah satu tangan pemilik wajah harus tetap memegang tongkat ajaib ini.

Buat saya pribadi, kebiasaan foto selfie ini adalah salah satu ciri-ciri dari orang yang tidak percaya diri atau mungkin asosial. Kenapa saya sebut tidak percaya diri? Karena dia tidak percaya diri bergaya dan berpose di depan orang lain, sehingga lebih suka berpose sendiri dan memoret sendiri. Lalu kenapa saya sebut asosial? Karena saya yakin si empunya foto pasti mengharapkan hasil foto yang maksimal, tetapi dia tidak mau berinteraksi dengan orang lain untuk sekedar minta tolong difoto. Dengan bantuan orang lain memotret anda, tentu anda akan lebih leluasa berpose dengan menggunakan kedua tangan anda. Misalnya tangan yang satu bebas suka-suka memegang daun telinga anda sendiri, sementara tangan yang satu lagi memegang daun tanaman atau daun pintu. Tentu jauh lebih estetika dibanding pose pendekar bertangan satu dan berjidat cahaya.

Apakah selfie ini juga termasuk dari ciri-ciri narsis? Saya tidak melihatnya seperti itu. Narsis itu cenderung percaya diri, bahkan kadang terlalu percaya diri. Dia akan memamerkan segala sesuatu yang menurut dia yang terbaik yang dia miliki. Dan saya yakin foto selfie bukan termasuk salah satu dari sesuatu yang terbaik. Dengan mental narsis, dia tentu akan percaya diri berpose di depan orang lain untuk mendapatkan hasil foto yang terbaik dan sempurna, lalu memamerkan hasil foto tersebut sebagai syarat mutlak seseorang yang narsis.

Tetapi trend selfie dari sudut pandang sok psikologi ini kan hanya pendapat saya pribadi. Mungkin memang ada orang yang tidak terlalu peduli dengan estetika dan lebih mementingkan penampakan pipi yang mendominasi hasil foto sehingga menganggap foto selfie lebih menarik dibanding foto yang dijepret orang lain. Sekali lagi, ini hanya masalah selera pribadi. Buat saya sih, foto selfie sama sekali tidak ada bagus-bagusnya. Mending cari orang lain atau cegat siapa saja yang kebetulan seliweran, lalu “Mbak/Mas, tolong dong”. JEPRET!!!!

Sumber
http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2014/02/07/foto-selfie-gejala-asosial-krisis-pede-631791.html



@



0 komentar:

Posting Komentar - Kembali ke Konten

Foto ‘Selfie’ Gejala Asosial & Krisis Pede?